Kesenian sebagai Pendidikan Moral
Sebuah pendekatan tersebut telah dekat tertarik dengan pendekatan lain yang sangat tidak mengikuti mode/zaman untuk mengevaluasi bentuk-bentuk simbolik sebagai sebuah tempat pendidikan moral. Kant telah menulis tentang kesenian ‘sebagai ekspresi yang dapat dilihat dari ide-ide moral’ dan Hegel bahwa manusia (sic)’menikmati bentuk dari barang-barang sebagai realisasi eksternal dari dirinya sendiri’. Itu adalah sebuah pendekatan yang asalnya diturunkan dari Yunani, tapi telah diekspresikan dengan sangat kuat dalam era moderen oleh Schiller, yang berpendapat bahwa karya-karya seni menyediakan sebuah tempat untuk manusia bermain. Gagasannya tentang permainan adalah sangat serius. Apa yang dia maksud adalah bahwa pemisahan kesenian dari kehidupan, tapi pada saat yang sama kemampuannya untuk menghasilkan fiksi seperti/mirip kehidupan, memampukan manusia untuk menggunakan kesenian sebagai sebuah alat untuk bekerja di luar eksperimen kehidupan. ‘Kesenian telah memunculkan sebuah watak pertengahan, yang di dalamnya alam kita adalah tidak terhambat baik secara fisikal maupun secara moral dan bahkan aktif pada kedua cara tersebut’ (dikutip dalam Habermas 1987: 48). ‘Pada pertengahan dunia yang dahsyat tentang kekuasaan dan tentang dunia hukum yang sakral, gerak hati kreatif estetika adalah bangunan bawah sadar sebuah dunia kegembiraan ketiga dari permainan dan tentang penampilan, yang di dalamnya ini melepaskan manusia dari semua belenggu suasana lingkungan dan membebaskannya dari setiap hal yang mungkin disebut rintangan, apakah secara fisikal ataupun moral’ (dikutip dalam habermas 19987: 137-138).
Sebuah pandangan tentang kesenian tersebut tentu saja terkait dengan sebuah interaksionist, pandangan pragmatis tentang pembentukan identitas manusia dan masyarakat, tentang kehidupan sebagai sebuah proyek yang melaluinya kita hanya mengetahui alam (sifat-sifat) kita sendiri dan realitas eksternal ketika hal ini dieksternalisasi, diobjektifikasi dan direfleksikan kembali kepada kita dalam tindakan. Bagi Schiller, dan mereka yang berfikir seperti dia, konstruksi simbolik yang telah kita sebut sebagai kesenian adalah sebuah bentuk istimewa khusus dari proses kemanusiaan secara umum tentang eksternalisasi dan objektifikasi secara persis, karena, sebagaimana Kant katakan, mereka tidak punya tujuan. Karena tindakan moral adalah tidak langsung pada pokok yang dapat kita adakan untuk mengambil resiko eksperimental yang akan tidak dapat diterima dalam ‘kehidupan yang nyata’. Kita menemukan sebuah pandangan yang sama dinyatakan dalam analisis Ang tentang pemirsa Dallas, di mana dia dia berpendapat: ‘memproduksi dan mengkonsumsi fantasi membiarkan kita untuk bermain-main dengan realitas, yang dapat dirasakan sebagai “pembebasan” karena ini adalah fiksi (khayalan), tidak nyata. Dalam bermain dengan fantasi kita mengadopsi posisi dan “mencoba (try out)” posisi tersebut, tanpa khawatir terhadap nilai-nilai realitas mereka’ (Ang, 1985: 130). Kita dapat menemukan argumentasi yang sama untuk sebuah konsep tentang kualitas televisi dalam Mepham (1990), di mana dia berpendapat bahwa ini adalah kewajiban televisi untuk mensuplai cerita-cerita yang dapat membantu kita menghidupkan (menjalani) kehidupan kita, sebuah hal yang sepenuhnya perhatian tentang etika ketimbang estetika. Pandangan tentang nilai dari literatur (kesusastraan) ini dan kebutuhan untuk membuat penilaian-penilaian sastrawi diskriminatif juga menyokong semua usaha kritis Leavis. Formulasi mutakhir yang paling canggih dari posisi ini adalah yang dinyatakan oleh Nusbaum dalam karyanya Love’s Knowledge (1990). Di sini dari sebuah posisi neo-Aritotelian yang mengharapkan untuk mengedepankan superioritas penalaran praktis Aristotelian di atas perintah-perintah moral kategoris Kantian di dalam etika, dia berpendapat, menggunakan sebuah pemilihan novel-novel sebagai contoh, bahwa novel-novel menyediakan kita dengan contoh-contoh istimewa dari penalaran moral praktis pengalaman yang memperbaiki, atau paling tidak memberi kita sumber-sumber untuk memperbaiki, nalar-akal moral kita. Lagi-lagi ini terlihat oleh saya sebuah posisi yang perlu kita ambil serius dan tidak sekedar menyingkirkan tangan dari posisi sosiologis atau posisi dekonstruksionist.
Sumber: