Selasa, 15 Juli 2008

Kesenian sebagai Pendidikan Moral

Sebuah pendekatan tersebut telah dekat tertarik dengan pendekatan lain yang sangat tidak mengikuti mode/zaman untuk mengevaluasi bentuk-bentuk simbolik sebagai sebuah tempat pendidikan moral. Kant telah menulis tentang kesenian ‘sebagai ekspresi yang dapat dilihat dari ide-ide moral’ dan Hegel bahwa manusia (sic)’menikmati bentuk dari barang-barang sebagai realisasi eksternal dari dirinya sendiri’. Itu adalah sebuah pendekatan yang asalnya diturunkan dari Yunani, tapi telah diekspresikan dengan sangat kuat dalam era moderen oleh Schiller, yang berpendapat bahwa karya-karya seni menyediakan sebuah tempat untuk manusia bermain. Gagasannya tentang permainan adalah sangat serius. Apa yang dia maksud adalah bahwa pemisahan kesenian dari kehidupan, tapi pada saat yang sama kemampuannya untuk menghasilkan fiksi seperti/mirip kehidupan, memampukan manusia untuk menggunakan kesenian sebagai sebuah alat untuk bekerja di luar eksperimen kehidupan. ‘Kesenian telah memunculkan sebuah watak pertengahan, yang di dalamnya alam kita adalah tidak terhambat baik secara fisikal maupun secara moral dan bahkan aktif pada kedua cara tersebut’ (dikutip dalam Habermas 1987: 48). ‘Pada pertengahan dunia yang dahsyat tentang kekuasaan dan tentang dunia hukum yang sakral, gerak hati kreatif estetika adalah bangunan bawah sadar sebuah dunia kegembiraan ketiga dari permainan dan tentang penampilan, yang di dalamnya ini melepaskan manusia dari semua belenggu suasana lingkungan dan membebaskannya dari setiap hal yang mungkin disebut rintangan, apakah secara fisikal ataupun moral’ (dikutip dalam habermas 19987: 137-138).

Sebuah pandangan tentang kesenian tersebut tentu saja terkait dengan sebuah interaksionist, pandangan pragmatis tentang pembentukan identitas manusia dan masyarakat, tentang kehidupan sebagai sebuah proyek yang melaluinya kita hanya mengetahui alam (sifat-sifat) kita sendiri dan realitas eksternal ketika hal ini dieksternalisasi, diobjektifikasi dan direfleksikan kembali kepada kita dalam tindakan. Bagi Schiller, dan mereka yang berfikir seperti dia, konstruksi simbolik yang telah kita sebut sebagai kesenian adalah sebuah bentuk istimewa khusus dari proses kemanusiaan secara umum tentang eksternalisasi dan objektifikasi secara persis, karena, sebagaimana Kant katakan, mereka tidak punya tujuan. Karena tindakan moral adalah tidak langsung pada pokok yang dapat kita adakan untuk mengambil resiko eksperimental yang akan tidak dapat diterima dalam ‘kehidupan yang nyata’. Kita menemukan sebuah pandangan yang sama dinyatakan dalam analisis Ang tentang pemirsa Dallas, di mana dia dia berpendapat: ‘memproduksi dan mengkonsumsi fantasi membiarkan kita untuk bermain-main dengan realitas, yang dapat dirasakan sebagai “pembebasan” karena ini adalah fiksi (khayalan), tidak nyata. Dalam bermain dengan fantasi kita mengadopsi posisi dan “mencoba (try out)” posisi tersebut, tanpa khawatir terhadap nilai-nilai realitas mereka’ (Ang, 1985: 130). Kita dapat menemukan argumentasi yang sama untuk sebuah konsep tentang kualitas televisi dalam Mepham (1990), di mana dia berpendapat bahwa ini adalah kewajiban televisi untuk mensuplai cerita-cerita yang dapat membantu kita menghidupkan (menjalani) kehidupan kita, sebuah hal yang sepenuhnya perhatian tentang etika ketimbang estetika. Pandangan tentang nilai dari literatur (kesusastraan) ini dan kebutuhan untuk membuat penilaian-penilaian sastrawi diskriminatif juga menyokong semua usaha kritis Leavis. Formulasi mutakhir yang paling canggih dari posisi ini adalah yang dinyatakan oleh Nusbaum dalam karyanya Love’s Knowledge (1990). Di sini dari sebuah posisi neo-Aritotelian yang mengharapkan untuk mengedepankan superioritas penalaran praktis Aristotelian di atas perintah-perintah moral kategoris Kantian di dalam etika, dia berpendapat, menggunakan sebuah pemilihan novel-novel sebagai contoh, bahwa novel-novel menyediakan kita dengan contoh-contoh istimewa dari penalaran moral praktis pengalaman yang memperbaiki, atau paling tidak memberi kita sumber-sumber untuk memperbaiki, nalar-akal moral kita. Lagi-lagi ini terlihat oleh saya sebuah posisi yang perlu kita ambil serius dan tidak sekedar menyingkirkan tangan dari posisi sosiologis atau posisi dekonstruksionist.

Sumber:

www.vanillamist.com

Jumat, 11 Juli 2008

Pendidikan Anak untuk Mengerti Kebudayaan


Pendidikan dan kebudayaan adalah dua kata saling berhubungan erat. Bahkan keduanya tidak dapat dipisahkan, karena keduanya merupakan entitas yang saling mencakupi. Pendidikan itu sendiri adalah kebudayaan. Karena pendidikan adalah kerjanya manusia. Kegiatan pendidikan merupakan proses pembudayaan, artinya pendidikan membuat manusia menjadi berbudaya. Kebudayaan merupakan salah satu landasan bagi pendidikan, karena di dalamnya terkandung nilai nilai kehidupan dan menjadi pedoman hidup masyarakat dimana pendidikan itu berlangsung.

Demikian termaktub dalam Qanun Pendidikan, kebudayaan bangsa dan kebudayaan masyarakat Aceh termasuk di antara landasan bagi pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam. Kebudayaan bangsa itu sendiri pada hakekatnya adalah kebudayaan daerah daerah di Indonesia. Selain sebagai landasan, kebudayaan merupakan pula isi bagi pendidikan dimana melalui pendidikan nilai nilai kebudayaan itu diajarkan atau ditransformasikan kepada peserta didik. Karena itu pendidikan sering dipandang sebagai proses pewarisan nilai - nilai budaya atau proses enculturasi dari satu generasi ke generasi yang lain. Misalnya, tatkala seorang anak di dodaidi oleh ibunya sambil menyanyikan hikayat prang sabi berarti sedang terjadi proses pendidikan pada anak itu.

Demikian pula ketika seorang ayah memperingatkan anak anaknya agar harus bersikap sopan santun dalam pergaulan, terutama harus bergikap hormat kepada guru dan takzim kepada orang tua, sebab hal itu merapakan nilai nilai budaya yang telah menjadi tradisi masyarakat Aceh, maka itu berarti si ayah sedang mendidik anak anaknya atau sedang terjadi proses enculturasi dalam keluarga itu.

Di sekolah sebagai lingkungan pendidikan yang kedua bagi anak, juga terjadi proses pembudayaan. Sekolah itu sendiri adalah sebagai pusat kebudayaan. Sekolah dengan segala komponen dan kehidupan di dalamnya merupakan budaya tersendiri yang disebut budaya sekolah (school culture). Mutu pendidikan di sekolah sangat ditentukan oleh keadaan budaya sekolah. Semakin baik budaya sekolah akan semakin berkualitas mutu lulusannya.
Dalam masyarakat sebagai salah satu dari tri pusat pendidikan berlangsung pula pendidikan nilai nilai budaya yang sangat menentukan perkembangan kepribadian seseorang dan sekaligus perkembangan dari kebudayaan masyarakat itu.

Pendidikan dalam masyarakat terutama berlangsung secara informal, yaitu dalam bentuk berbagai pengaruh secara tidak terencana. Seorang anak dipengaruhi oleh teman temannya melalui pergaulan. Ia melihat perilaku masyarakat setiap hari, melihat berbagai program media televisi dan peristiwa budaya lainnya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Semuanya itu menjadi kurikulum yang disebut kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Itu sangat besar pengaruhnya, bahkan dalam beberapa hal lebih berpengaruh dari kurikulum sekolah yang direncanakan.

Pendidikan memegang peranan yang sangat besar dalam perkembangan kebudayaan, bahkan dalam hidup matinya suatu kebudayaan. Tanpa proses pendidikan tidak mungkin kebudayaan itu berlangsung dan berkembang. Melalui pendidikan, kepribadian seseorang itu dibentuk dan dikembangkan. Individu yang dididik melalui pendidikan merupakan kreator dan sekaligus sebagai manipulator dari kebudayaannya. Tanpa kepribadian manusia tidak ada kebudayaan, meskipun kebudayaan bukanlah sekedar jumlah dari kepribadian kepribadian.
Sebaliknya kebudayaan akan sangat diperlukan upaya pembentukan kepribdian. Kesenian misalnya, sebagai aspek kebudayaan, sangat besar peranannya dalam pengembangan kepribadian seseorang, dan karena itu sangat penting bagi pendidikan. Dengan musik dapat memperhalus perasaan seseorang, dengan sastra dapat membangun jiwa dan kalbu, demikian. pula dengan seni tari, seni lukis dan berbagai seni pertunjukan dapat membangun dan memperkokoh kepribadian.

Kebudayaan mencakup nilai idil, nilai nilai rohani dan nilai nilai materil. Nilai nilai itu merupakan inti setiap kebudayaan. Nilai nilai moral misalnya, merupakan sarana, pengatur kehidupan bersama. Nilai itu sangat menentukan dalam setiap kebudayaan dalam upaya pengembangan kepribadian. Maka, pendidikan di seluruh dunia sekarang ini sedang mengkaji mengenai perlunya diadakan kembali pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti. Suatu keadaan terjadinya kebangkitan kembali kesadaran etik, artinya kesadaran akan perlunya nilai nilai etika atau akhlak dalam kehidupan. Karena dalam masyarakat terdapat moralitas dasar yang sangat esensial untuk keberlangsungan hidup bermasyarakat, seperti percaya mempercayai, kejujuran, rasa solidaritas sosial, dan nilai nilai kemasyarakatan lainnya. …..

Anak anak atau generasi muda perlu diajarkan akan tanggung jawabnya dalam hidup bersama (learning to live together) dengan menghormati nilai nilai dasar tersebut. Nilai nilai dasar itu adalah nilai nilai obyektif yang merupakan dasar perekat dan pengikat hidup bersama, dan merupakan nilai nilai hakekat kemanusiaan (human dignity) yang diperlukan untuk meningkatkan kemakmuran hidup bersama. Mengapa kesadaran itu timbul? Sebabnya antara lain, karena dalam masyarakat modern dan post modern sekarang ini telah semakin melemahnya ikatan keluarga. Keluarga yang secara tradidisional merupakan lingkungan pendidikan pertama bagi anak sudah kehilangan fungsinya. Tugas mendidik sudah hampir sepenuhnya diserahkan kepada sekolah oleh keluarga, sehingga sekolah sudah mempunyai tugas ganda di samping mengajar.

Sebab lainnya ialah karena dalam kehidupan pemuda semakin nyata adanya kecenderungan negatif, seperti perkelahian, pemakaian narkoba, pencurian, kekerasan, penyelewengan seksual, dan lain lain. Dalam keadaan demikian itu maka tugas orang tua di rumah, tugas guru di sekolah dan tugas pemuka masyarakat menjadi sangat krusial dan menentukan dalam upaya meningkatkan pendidikan akhlak itu.

Untuk membangun akhlak perlu diajarkan nilai nilai yang terkandung dalam ajaran agama dan kebudayaan masyarakat. Seperti dimaklumi bahwa kebudayaan bukan hanya kesenian tetapi mencakup berbagai aspek kehidupan manusia. Dalam konteks kebudayaan universal, kesenian hanya salah satu aspek saja dari kebudayaan. Aspek lainnya ialah sistem peribadatan, sistem kemasyarakatan, sistem ekonomi, bahasa, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Mengartikan kebudayaan dalam arti sempit, yaitu terbatas pada kesenian dan kepurbakalaan telah mereduksi kebudayaan hanya pada nilai nilai estetika. Dan ini berarti telah memperjarak hubungan atau telah cenderung. memisahkan antara pendidikan dengan kebudayaan. Gejala pemisahan kedua hal itu juga disebabkan karena nilai nilai kebudayaan dalam pendidikan terlalu dibatasi pada nilai nilai intelektual saja.

Sebab lainnya terjadi gejala pemisahan antara pendidikan dengan kebudayaan, karena adanya pandangan dan usaha bahwa nilai nilai agama dipandang sebagai bukan urusan pendidikan, tetapi sebagai urusannya lembaga lembaga keagamaan, Alasan lainnya ialah telah dipisahkan antara departemen pendidikan dengan departemen kebudayaan, yang dulu merupakan satu departemen, sehingga jarak antara pendidikan dan kebudayaan semakin jauh, malah dipandang sebagai dua hal yang tidak ada hubungan.

Dulu ketika lembaga pemerintahan itu bernama departemen pendidikan dan kebudayaan, ternyata unsur kebudayaan dalam lembaga tersebut sangat kabur, karena pengertian kebudayaan hanya dibatasi pada urusan kesenian, kepurbakalaan dan bahasa. Kebudayaan sudah merupakan bagian yang embel embel dalam departemen itu. Padahal kebudayaan jauh lebih luas dari pendidikan. Menurut saya adalah tepat bahwa pendidikan dan kebudayaan itu berada dalam satu departemen atau dalam satu dinas.

Yang perlu adalah bahwa kebudayaan itu harus diartikan secara luas, malah lebih luas dari pendidikan, sebab kebudayaan mencakup semua segi kehidupan, dan ia merupakan landasan bagi aspek kebudayaan yang bernama pendidikan. Menurut Profesor Tilaar, memisahkan pendidikan dengan kebudayaan merupakan satu kebijakan yang merusak perkembangan kebudayaan itu sendiri, malahan mengkhianati keberadaan proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa secara rasional antara pendidikan dan kebudayaan adalah sulit dipisahkan dan tidak tepat untuk dipisahkan karena keduanya sangat erat hubungannya.

Sunber: www.pintunet.com

Wajah Dunia Pendidikan Kita


Momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap tanggal 2 Mei, telah kita lalui. Tetapi, pesan moral yang terkandung di dalam peristiwa penting tersebut hendaknya senantiasa up to date dan tidak pernah berlalu dalam kehidupan kita.

Melalui tulisan ini, penulis mengajak kita semua, anak bangsa negeri ini untuk memotret wajah dunia pendidikan kita saat ini. Dengan demikian diharapkan mampu menghadirkan semangat pada setiap individu masyarakat negeri ini untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air tercinta ini.

Peran Pendidikan

Tidak dapat dipungkiri, bahwa pendidikan memunyai peranan yang sangat penting dalam proses kemajuan suatu bangsa. Semakin tinggi kualitas pendidikan di suatu bangsa, semakin tinggi pula kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa tersebut. Dan ini akan berimbas pada kemajuan peradaban bangsa tersebut. Sebaliknya, rendahnya kualitas pendidikan akan berdampak pada rendahnya mutu SDM, yang pada gilirannya akan menghambat kemajuan peradaban bangsa tersebut.

Persoalannya, untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas tidak semudah membalik telapak tangan. Diperlukan sejumlah prasyarat tertentu demi kelancaran proses penciptaan mutu pendidikan. Dari mulai tersedianya tenaga pengajar profesional, yang kompeten dan memiliki integritas serta dedikasi tinggi, terlengkapinya fasilitas serta sarana dan prasarana penunjang dalam proses belajar mengajar, serta efektif dan efisiennya kurikulum, dan sejumlah prasyarat lainnya.

Dalam konteks Indonesia, sejumlah prasyarat yang harus ada demi penciptaan mutu pendidikan tersebut belum seluruhnya terpenuhi. Kalaupun ada sekolah atau lembaga pendidikan yang memiliki sejumlah komponen prasyarat yang cukup memadai, tentu membebankan biaya yang tinggi kepada peserta didiknya. Sehingga, tidak mungkin terjangkau oleh masyarakat kebanyakan.

Inilah persoalan klise dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di satu sisi, kita mendambakan kualitas pendidikan yang baik untuk seluruh lapisan masyarakat. Di sisi lain, untuk memperoleh kualitas pendidikan yang baik, masyarakat harus menyediakan dana yang tidak sedikit. Sementara, kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat negeri ini sangat memprihatinkan.

Landasan Yuridis

Pada hakekatnya, bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dan dalam UU No. 20/2003 pasal 5, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Dari beberapa landasan yuridis di atas, maka jelas bahwa seluruh lapisan masyarakat negeri ini berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu. Dan untuk memperolehnya, pemerintah berkewajiban untuk memfasilitasinya.

Ironisnya, pemerintah sebagai penyelenggara negara, hanya rajin mendengungkan pentingnya pendidikan bagi warga negara, tanpa memberikan solusi terbaik untuk penyelenggaraan pendidikan di seluruh jenjang pendidikan. Hal ini terlihat dengan kurangnya anggaran pendidikan, baik dalam APBN maupun APBD, yang sampai saat ini masih tidak lebih dari 20%. Kenyataan ini, memaksa kita untuk menunda keinginan memiliki pendidikan yang berkualitas.

Tujuan Pendidikan

Kita semua mafhum bahwa tujuan utama pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan pribadi-pribadi berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia, serta membangun generasi mendatang dengan seperangkat intelektualitas, moralitas dan spiritualitas yang memadai.

Pendidikan, seperti diungkapkan para pakar, sejatinya merupakan sarana pembentukan manusia sempurna yang mengedepankan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran dan keadilan.

Pendidikan yang baik, bukan hanya sekedar transfer of knowledge. Menjejali anak didik dengan serangkaian ilmu pengetahuan semata, tanpa didasari oleh seperangkat nilai-nilai pendidikan yang substansial, seperti penanaman aspek kepribadian dan pembentukan sikap.

Pendidikan yang sesungguhnya, selain sebagai sarana aktivitas belajar-mengajar, seharusnya juga sebagai wadah penanaman nilai humanisme, pluralisme, dan inklusivisme. Model pendidikan seperti inilah, hemat penulis, yang merupakan sarana efektif bagi anak didik untuk menjalani kehidupan sosial di tengah masyarakat yang heterogen ini dengan penuh toleransi dan kedamaian.

Kenyataan yang terjadi di lapangan, proses pembelajaran tidak lebih dari sekedar transfer of knowledge. Para pendidik merasa telah selesai menjalankan tugasnya ketika materi pembelajaran telah disampaikan. Hasil akhir dari proses belajar mengajar hanya dilihat dari deretan angka-angka yang menghiasi buku rapor peserta didik. Adapun integritas moral dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan terhadap peserta didik seringkali diabaikan. Akibatnya, para peserta didik berlomba-lomba mencari cara bagaimana agar mendapat nilai maksimal, tanpa memedulikan apakah cara yang ditempuh melanggar norma atau bahkan menginjak-injak moralitas.

Pelanggaran atas nilai-nilai moral, ternyata tidak hanya dilakukan oleh peserta didik, tetapi juga oleh para pendidik. Hal ini bisa dilihat, seperti dilansir sejumlah media cetak dan elektronik beberapa waktu lalu. Pada saat pelaksanaan Ujian Nasional (UN) Tahun 2008 untuk siswa SMA/MA/SMK, terjadi banyak sekali penyimpangan serta pelanggaran terhadap tata tertib UN.

Ada sejumlah oknum guru yang membocorkan soal ujian. Bahkan memberikan jawaban melalui sms ke ponsel para siswanya. Ada juga kepala sekolah serta guru bidang studi yang masuk ruangan UN dan mengoreksi jawaban peserta UN. Kesemua tindakan itu dilakukan demi menjaga nama baik sekolah tersebut.

Pelbagai perilaku tidak terpuji tersebut menunjukkan bahwa proses pendidikan di Indonesia ini masih kurang memedulikan nilai-nilai moral. Tingkat kelulusan yang ditentukan hanya dengan deretan angka hasil ujian, seakan menegaskan bahwa kecerdasan intelektual adalah segalanya. Sementara kecerdasan emosional, terlebih lagi kecerdasan spiritual masih belum mendapat tempat yang layak di dunia pendidikan kita.

Peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini, hendaknya menjadi cermin untuk melihat realita dunia pendidikan di Indonesia. Apa saja yang masih perlu dibenahi. Mana yang harus diperbaiki, serta langkah apa yang harus segera diambil untuk mengatasi berbagai persoalan yang melingkupi dunia pendidikan di Indonesia. Semoga wajah dunia pendidikan di Indonesia memancarkan aura positifnya. Sehingga mampu membawa bangsa ini menuju kehidupan yang lebih baik.

Sumber: kolumnis.com/2008/05/08/wajah-dunia-pendidikan-kita