Revolusi Seks Bangku Sekolah
CIANJUR, bagi siapa pun yang pernah mengenal kota kabupaten di Jawa Barat itu, pasti punya kesan manis. Kota yang resik, berhawa sejuk, dengan lanskap pegunungan yang melankolis. Para mojangnya pun ramah renyah, dengan senyuman yang gampang tersungging di antara pipinya yang kuning ranum.
Lagu Semalam Di Cianjur yang dilantunkan Alfian (almarhum) sudah cukup menggambarkan semua kesan manis itu, meski liriknya pendek. "Kan kuingat di dalam hatiku/ betapa indah semalam di Cianjur/ Janji kasih yang tlah kau ucapkan/ penuh kenangan yang takkan terlupakan....''
Jika Anda bukan orang Sunda, datang ke Cianjur sudah cukup untuk melihat seluruh nuansa Periangan. Cianjur, sekitar 60 kilometer di barat Bandung, bisa dibilang jantungnya Tatar Sunda. Bagi orang Sunda sendiri, irama lagu cianjuran dengan iringan kecapi-sulingnya seolah memberi pengaruh magis yang aneh. Ada yang bilang, mendengar lagu itu seperti mendadak terkenang ke masa-masa lalu, bahkan jauh menyelusup ke zaman baheula.
Lirik dan melodinya seolah menerbangkan khayalan ke zaman Pajajaran, masa peradaban para karuhun Sunda dengan segala nilai Timur-nya yang puritan --ketika masyarakat masih mengenal pamali, sebagai tabu yang tak boleh dilabrak.
Tapi kini, kenangan itu buyar. Cianjur serta merta menyedot perhatian dalam kesan yang negatif. Kota Periangan yang selama ini dianggap setia pada nilai-nilai lama, dan religius, itu telah tercemari peradaban hedonis: seks bebas.
Seperti ramai diberitakan, 11 siswa dan siswi sekolah menengah umum negeri (SMUN) II Cianjur telah dipecat awal bulan ini karena terlibat seks bebas yang pamali itu. Bahkan kini beredar kepingan VCD berisi adegan sepasang pelajar melakukan, maaf, seks oral di kelas itu.
Masyarakat Cianjur pantas gerah. Kamis pekan lalu, ratusan pelajar dan mahasiswa se-Cianjur, yang menamakan diri Forum Masyarakat Anti Maksiat berunjuk rasa di depan kantor DPRD. Mereka menuntut Pemerintah Kabupaten Cianjur serius menanggulangi segala bentuk prostitusi dan pornoaksi yang kian marak.
"Kami juga menyerukan masyarakat untuk meningkatkan pendidikan Islam," ujar Ganesya Arkadi, koordinator aksi, kepada Gatra. Masyarakat Cianjur memang sudah sepakat menerapkan syariat Islam sejak 26 Maret 2001. Pengunjuk rasa meminta agar kasus asusila yang terjadi di SMUN II diusut secara hukum.
Ketika Gatra berkunjung ke SMUN II di Jalan Siliwangi Cianjur, Kamis pekan lalu, kesedihan tergambar pada wajah para guru dan sebagian besar siswanya. "Kami malu dan trauma," kata Mohamad Iqbal, Ketua OSIS SMUN II Cianjur. Para siswi pun kini kerap jadi sasaran pelecehan. Ketika menunggu angkutan pulang di dekat sekolahnya, mereka sering mendapat sindiran dari para awak angkutan umum. "Neng sabaraha?" kata mereka, menanyakan tarif kencan.
Semuanya berawal dari perbuatan tak senonoh yang dilakukan sepasang pelajar SMUN II, sebut saja namanya Yuyun dan Didi. Kedua pelajar kelas dua Program Bahasa itu dituduh telah melakukan seks oral di bangku kelas. Adegan itu bahkan direkam seorang pelajar lain, panggil saja namanya Cici, dengan telepon selulernya. Kemudian gambar itu beredar di antara para pelajar pemilik seluler di Cianjur, beberapa hari menjelang Lebaran.
Menurut penuturan sejumlah siswa kepada Gatra, adegan mesum itu dilakukan Yuyun dan Didi sekitar pertengahan Oktober, tepat di bulan Ramadan! Mereka melakukannya saat jam istirahat, sekitar pukul 10.00. Saat itu suasana kelas sepi, sebagian siswa beristirahat di luar kelas. Suasana senyap itu ternyata dimanfaatkan Didi dan Yuyun, dua pelajar yang memang dikenal cuek. Apakah keduanya berpacaran? "Tidak, mereka cuma temenan saja," kata seorang siswa yang tak mau disebut namanya.
Tak ada yang tahu bagaimana awal kejadian itu. Yang jelas, sewaktu empat orang siswi lain masuk kelas, Yuyun dan Didi sedang terlena, direkam Cici. Didi duduk di bangku, sedangkan Yuyun jongkok di lantai. Keempat siswi yang baru masuk itu kontan berlarian ke luar kelas lagi. "Bahkan ada yang muntah-muntah melihatnya," kata siswa tadi. Rekaman peristiwa itu kemudian menyebar dari seluler ke seluler.
Akhirnya, sampailah kasus itu ke Dewan Guru SMUN II. Tak ayal lagi, para guru langsung memanggil Yuyun dan Didi. Keduanya konon berterus terang telah melakukannya. Tapi Didi dan Yuyun tak ingin disalahkan sendirian. Mereka mengoceh bahwa teman-temannya pun sudah terbiasa melakukan seks bebas.
Ada sejumlah siswi yang, katanya, biasa menjajakan diri kepada para hidung belang. Tarifnya sekitar Rp 200.000. Di kalangan mereka, siswi nakal itu disebut "cewek pulsa", yakni cewek yang biasa "jualan" untuk membeli pulsa seluler prabayar.
Yuyun menyebut delapan nama temannya, yang terlibat perilaku asusila itu. Dua di antaranya pelajar pria, yang selain pernah melakukan hubungan intim, juga bertindak sebagai germo. Dewan Guru SMUN II akhirnya mengeluarkan Didi, Yuyun, Cici, dan kedelapan pelajar tadi.
Belakangan, dari para pelajar yang dipecat itu terungkap aib lain yang lebih memalukan: seorang guru terlibat kegiatan seks bebas bersama mereka. Guru itu berinisial DS, pengajar biologi, ayah tiga anak. Menurut penuturan seorang siswa kepada Gatra, Pak DS ini sempat pula mencicipi Yuyun, sebelum menawarkannya kepada para pria hidung belang.
DS dijemput polisi Rabu pekan lalu dari rumahnya. "Dia kami jerat dengan Pasal 294 dan 293 KUHP tentang perbuatan cabul," ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Cianjur, AKP Wardoli. Polisi masih menyelidiki hubungan DS dengan para siswa SMUN II yang dipecat itu.
Gatra sempat berusaha mencari para pelajar yang sudah dikeluarkan dari sekolahnya itu. Tapi tak seorang pun bisa ditemui. Mereka ngumpet setelah peristiwa aib itu mencuat. Yuyun yang tinggal di bilangan Warung Jajar, Cianjur, dikabarkan mengungsi ke Bandung. Sedangkan Didi kabarnya dipindahkan keluarganya ke Jakarta. Orangtua Didi yang membuka sebuah toko emas di Jalan Mangunsarkoro, menolak berbicara dengan Gatra. Mereka diam seolah tak terjadi apa-apa.
Padahal, aib di sekolah itu kini jadi bahan perbincangan di mana-mana. Kalangan pendidik memprihatinkan akhlak para pelajar Cianjur yang kian bebas. Dedy Suhendi, seorang guru di sebuah SLTP di Cianjur, mengatakan bahwa kasus di SMUN II boleh dibilang ibarat fenomena gunung es. "Banyak kenyataan yang tidak mencuat," katanya. "Banyak anak sekolah lain berperilaku begitu."
Seorang siswi sebuah SMU negeri lain di Cianjur membenarkan pendapat Dedy. "Kasus ini hanya sebagian kecil," katanya kepada Gatra. Dia menuturkan ada sejumlah temannya yang juga menjadi "cewek pulsa". Mereka siap dibawa ke penginapan yang banyak bertebaran di sepanjang jalur wisata ke arah Puncak atau Sukabumi.
Tapi, pergaulan bebas itu sama sekali bukan monopoli pelajar Cianjur. Para remaja di kota-kota lain pun, terutama kota besar, kini dinilai cenderung lebih permisif dalam urusan seks. Seorang siswi sekolah menengah di Jakarta, Pipi --bukan nama sebenarnya-- mengomentari kasus Cianjur dengan berujar, "Sinting, ngapain gituan di dalam kelas!"
Pipi tak bermaksud mengatakan dirinya bersih. Ia sendiri mengaku tak aneh dengan seks. Cuma, tak pernah melakukannya di kelas. Pipi, yang kini duduk di kelas III sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK) di kawasan Cawang, Jakarta Timur, itu terus terang sudah mengenal seks sejak kelas I.
Gilanya, bagi Pipi dan teman-temannya, seks adalah ''gaul''. Pipi biasa kongkow dengan tiga kawan sekelasnya. Kadang mereka menonton VCD porno bersama teman-teman cowoknya. Yang belum mencoba adegan dalam film porno itu dianggap kurang gaul.
Bagaimana mereka bisa begitu bebas dalam urusan seks? "Awalnya gue dikerjain pacar," Pipi bertutur. Tapi intim dengan sang pacar itu cuma berumur setahun. Mereka putus, dan Pipi lalu mencari gebetan baru dengan status anyar: bukan perawan lagi. Nothing to lose!
Pipi akhirnya tak sungkan lagi melayani pria hidung belang. Sebab, ia butuh duit untuk membeli handphone --nama beken telepon seluler. Dan "tuntutan pergaulan" itu terus berlanjut karena tiap bulan pulsa teleponnya habis. Sedangkan orangtuanya yang pas-pasan tak memberinya jatah duit.
Pipi bersama teman-temannya biasa mejeng di kawasan Cililitan, masih di Jakarta Timur. Di sanalah kawanan mereka mencegat mobil seorang wartawan Gatra, usai jam sekolah, suatu hari. Awalnya mereka cuma bilang mau menumpang sampai Kalibata Mal, tak jauh dari Cililitan. Tapi kemudian mereka tak ragu mengajak jalan-jalan.
Pipi akhirnya blak-blakan: ia dan tiga temannya siap diajak check in --istilah untuk bertransaksi seksual, dengan bayaran Rp 1 juta. Berempat sekaligus? "Kalau mau berdua enam ratus ribu deh," kata Pipi tanpa malu-malu. Yang jelas, gadis hitam manis itu menolak "melayani" sendiri pria dewasa yang baru dikenalnya. Kecuali kalau sudah akrab.
Anehnya, dua di antara rombongan gadis nakal itu mengatakan punya pacar tetap. Noni, misalnya mengaku sering melakukan hubungan intim dengan sang pacar, kapan saja mereka suka. "Seringnya, ya, di rumah dia," kata warga kawasan Pondokgede, Bekasi, yang menolak menyebutkan nama aslinya itu. Camer, alias calon mertuanya, kata Noni, cuek saja kalaupun ia berlama-lama di kamar cowoknya.
Uniknya, uang hasil transaksi birahi yang diperoleh Noni justru sering digunakan untuk hura-hura bersama sang pacar. Ia memang tak bercerita dari mana mendapatkan uang itu. Apa pun yang mereka lakukan, seolah sudah jadi rahasia mereka berempat. Solidaritas di antara keempatnya juga amat tinggi.
Kawanan Pipi tak sendirian. Di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, pada malam akhir pekan, kerap ditemui para remaja putri --yang juga menganut kebebasan yang sama-- mejeng. Mereka dikenal dengan sebutan "pekcum" alias perek cuma-cuma. Sebuah stasiun televisi pernah menayangkan aksi mereka. Sebagian besar dari mereka mengaku masih duduk di bangku SMU dan rela mengumbar berahi demi kesenangan.
Para remaja kini betul-betul tersesat ke zaman baru. Menurut seksolog Profesor Wimpie Pangkahila, pandangan masyarakat tentang seks memang telah berubah jauh. Seks tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang sakral untuk dibicarakan, bahkan mulai dianggap sah-sah saja dilakukan meski tanpa ikatan.
"Akibatnya, perilaku seksual masyarakat makin bebas, tidak lagi terikat oleh norma-norma," kata guru besar Universitas Udayana, Bali, itu. "Dulu hamil sebelum menikah dianggap kecelakaan. Sekarang orang menikah dengan perut buncit hal biasa."
Gelombang kebebasan seks terasa kian menggelora setelah internet membumi pertengahan 1990-an, diikuti teknologi telepon seluler yang kian canggih. Keduanya memberikan fasilitas baru bagi pergaulan yang nyaris tanpa sekat.
Internet bukan cuma menyuguhkan gambar-gambar seronok lewat situs-situs pornonya, juga menjadi media untuk mencari kawan baru dengan semangat mesum. Telepon seluler yang dilengkapi kamera kini cenderung dianggap peranti dokumentasi baru untuk hal-hal yang paling pribadi. Semuanya telah menjadi alat gaul baru yang memicu perilaku aneh.
Lihat saja, banyak foto jorok para remaja tersebar dari layar seluler, bahkan masuk jaringan internet. Yang paling heboh adalah kasus foto telanjang siswa kelas III sebuah SMU Negeri, di Mojokerto, Jawa Timur, yang juga menjadi Yuk (Gadis) Mojokerto 2005. Foto-foto bugilnya terpajang di situs smu1puri.cjb.net, sejak Oktober lalu.
Pose-pose telanjang itu, seperti dilaporkan wartawan Gatra di Surabaya, Rach Alida Bahaweres, diduga dibuat oleh pacar sang gadis di sebuah penginapan di Lawang, Malang, pada September lalu. Entah siapa yang kemudian mentransfernya ke internet dan apa motifnya.
Yang jelas, gadis Mojokerto itu, Endang Christy Handayani, 18 tahun, tetap menolak mengakui gambar-gambar itu sebagai foto dirinya. Kini, Endang yang cukup berpretasi di sekolahnya itu menghilang setelah gelar Yuk Mojokertonya dicabut.
Gambar-gambar mesum para gadis lokal lainnya di internet --kadang dalam adegan panas dengan pasangannya-- tak terjelaskan asal-usulnya. Namun, semuanya menunjukkan bahwa kebebasan baru sudah lahir: seks terang-terangan.
Revolusi seks yang mencuat di Amerika Serikat dan Eropa pada akhir 1960-an seolah sudah merambah ke sini, melalui peranti teknologi informasi, dan sarana hiburan yang makin canggih. Bintang-bintang porno film biru Amerika kini dengan gampang bisa dinikmati melalui alat pemutar VCD dan DVD.
Yahya Ma'shum, Kepala Divisi Informasi, Edukasi, Motivasi, dan Advokasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) mengatakan, peta seks memang sudah berubah. "Dibandingkan dengan dua dekade lalu, hubungan seks di kalangan remaja telah meningkat, dan sudah terang-terangan," katanya kepada Ajeng Ritzki Pitakasari dari Gatra.
Hasil riset Synote tahun 2004 juga membuktikannya. Riset dilakukan di empat kota yakni Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan. Dari 450 responden, 44% mengaku berhubungan seks pertama kali pada usia 16-18 tahun. Bahkan ada 16 responden yang mengenal seks sejak usia 13-15 tahun. Sebanyak 40% responden melakukan hubungan seks di rumah. Sedangkan 26% melakukannya di tempat kos, dan 20 % lainnya di hotel.
Survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terhadap 2.880 remaja usia 15-24 tahun di enam kota di Jawa Barat pada 2002, juga menunjukkan angka menyedihkan. Sebanyak 39,65% dari mereka pernah berhubungan seks sebelum nikah.
Sungguh celaka: para remaja mungkin mengidentikkan kebebasan seks dengan pergaulan modern. Padahal, menurut seksolog dokter Naek L. Tobing, seks bebas adalah kehidupan primitif. "Seks bebas terjadi sebelum agama-agama lahir," katanya. Ketika peradaban semakin maju, dan ilmu pengetahuan berkembang, seks bebas ternyata terbukti membawa banyak persoalan. Selain merusak tatanan sosial juga menyebarkan berbagai penyakit gawat.
Tanpa peran agama, pendidikan dan kontrol keluarga, kebebasan seks bisa jadi bakal makin menyesatkan.
Endang Sukendar, Rachmat Hidayat, dan Ida Farida (Bandung)
[Laporan Utama, Gatra Nomor 3 Beredar Senin, 28 November 2005]